BUKTIKAN CINTAMU KEPADA RASULULLAH SAW.
Pada tahun keenam Hijrah, Rasulullah Saw. dan para sahabatnya berhenti di Hudaibiyah. Dari Makkah datang utusan kafir Quraisy. Mereka bermaksud melarang Nabi dan rombongan untuk melakukan haji. Setelah perundingan agak alot, lahirlah Perjanjian Hudaibiyah. Ketika balik lagi ke Makkah, mereka bukan saja membawa naskah perjanjian, mereka membawa kenangan yang mempesona.
Untuk pertama kalinya mereka menyaksikan perlakuan kaum Muslim terhadap Nabi Saw., pemimpin mereka. Ketika Nabi berbicara, mereka terpaku pada bibirnya yang mulia. Ketika beliau bergerak, mereka mengikutinya dengan setia. Mereka menghadapkan seluruh perhatian kepadanya, seakan-akan tidak pemah puas menikmati keindahan wajahnya.
Urwah Al-Tsaqafi, salah seorang utusan Makkah melaporkan kepada kaumnya, “Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah, aku pemah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pemah berkunjung kepada Kaisar, Kisra, dan Najasyi. Demi Allah, belum pemah aku melihat sahabat-sahabat mengagungkan rajanya, seperti sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Demi Allah, jika la meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka. la usapkan ludah itu ke wajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah, mereka berlomba melaksanakannya; bila ia hendak berwudhu, mereka hampir berkelahi untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara, mereka merendahkan suara di hadapannya. Mereka menundukkan pandangan di hadapannya karena memuliakannya” (Shahih Bukhari 3: 255).
Bukti Cinta kepada Nabi Saw.: Pertama, Mencintai Atsar-nya
Sekiranya Urwah melaporkan kesaksiannya itu kepada kita sekarang, mungkin sebagian di antara kita akan berkata, “Kultus individu”. Boleh jadi ada di antara kita yang berkata lebih ekstrem lagi, “syirk, Menyekutukan Tuhan, Nabi hanya manusia biasa saja.” Tapi, apa yang dilakukan, Nabi Saw.? Beliau tidak menegurnya, apalagi melarangnya.
Dalam peristiwa lain, beliau bahkan menganjurkannya. Ketika beliau tidur siang di rumah Ummu Sulaym, yang empunya rumah menampung keringat beliau pada sebuah botol. Ketika Nabi Saw. terbangun dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan wahai Ummu Sulaym?” ia menjawab, ‘Ya Rasulullah, kami mengharapkan berkahnya buat anak anak kami.” Mendengar itu, Nabi Saw. bersabda, “Ashabti. Engkau benar” (Musnad Ahmad 3: 221-226; Shahih Muslim 4: 1815).
Abu Hurairah bercerita: Seorang laki-laki datang menemui Nabi Saw. Ia berkata, “Ya Rasulullah, saya menikahkan anak perempuan saya. Saya ingin sekali engkau membantu saya dengan apa pun.” Nabi Saw. bersabda, “Aku tidak punya apa-apa. Tapi, besok, datanglah kepadaku. Bawa botol yang mulutnya lebar…” Pada esok harinya, ia datang lagi. Nabi Saw. meletakkan kedua sikunya di atas botol dan keringat beliau mengalir memenuhi botol itu. (Fath Al-Bari 6: 417; Sirah Dahlan 2: 255; Al-Bidayah iva Al-Nihayah 6: 25).
Kita tidak tahu apa yang dilakukan sahabat itu dengan sebotol keringat Nabi. Mungkin ia menyimpannya baik-baik, menggunakannya sebagai minyak wangi (seperti Um-mu Sulaym), atau mewasiatkan kepada ahli waris supaya botol itu -walaupun keringatnya sudah tidak ada- dikuburkan bersama jasadnya (seperti yang dilakukan Anas bin Malik). Apakah perbuatan para sahabat itu kultus individu? Kultus individu adalah istilah yang tidak jelas maknanya. Frasa ini lebih banyak digunakan untuk “memukul” (paham yang tidak sama dengan kita), bukan untuk menjelaskan.
Saya akan menyebut perbuatan sahabat itu dengan istilah yang sangat jelas: “cinta” ! Karena kecintaan kepada Rasulullah Saw., mereka mencintai apa saja yang datang dari beliau, hatta ludah sekalipun. Karena kecintaan kepadanya, mereka berebutan mengambil lembaran rambut, tetesan air wudhu, sebelah sandalnya, atau apa saja yang ditinggalkan Nabi Saw. Ketika Majnun mencium dinding rumah Layla, ia tidak menyekutukan Tuhan. Ia mencium dinding karena kecintaan kepada dia yang berada di balik dinding. Ketika seorang perempuan mendekap pakaian suaminya yang meninggalkannya dan membasahinya dengan linangan air mata, ia tidak terlibat dalam perbuatan syirk. la sedang mengekspresikan kerinduannya kepada suaminya. Begitu juga para sahabat dan ratusan ribu jamaah haji setiap tahun yang mencium dinding pusara Nabi Saw. dengan disertai isakan tangis; juga mereka yang menziarahi dan menapaktilasi tempat-tempat bersejarah dari kehidupan Nabi Saw.
Salah satu ungkapan cinta ialah mengenang dan memuliakan atsar, yakni apa saja -peristiwa, tempat, dan waktu- yang berkaitan dengan orang yang kita cintai. Lihatlah bagaimana bangsa-bangsa menegakkan monumen-monumen besar untuk mengenang peristiwa besar, tempat bersejarah, dan momen-momen penting dari pemimpin yang mereka cintai. Karena itulah, sangat sukar orang melarang kaum Muslim untuk memperingati maulid Nabi saw, Isra dan Mi’raj, Nuzul Al-Qur’an, Hijrah (walaupun peringatan itu disebut bid’ah). Tidak mungkin menghentikan orang Islam untuk menziarahi makam Nabi Saw., Badar, Uhud, Masjid Nabawi dan lain-lain (walaupun perbuatan itu disebut syirk sekalipun). Selama kaum Muslim mencintai Nabi Saw., selama itu peringatan dan ziarah akan berlangsung. Cinta yang tulus tidak dapat disembunyikan. Cinta yang sejati merindukan bukti.
Bukti Cinta kepada Nabi Saw.: Kedua, Membaca Shalawat
Salah satu bukti cinta ialah kenikmatan menyebut nama orang yang kita cintai. Ketika menyebut atau mendengar orang menyebut nama kekasih kita, hati kita bergetar. Ada kenikmatan dalam mengulang-ulang namanya. Seperti itulah orang-orang yang mencintai Rasulullah Saw. Segera setelah Nabi yang mulia meninggal dunia, Bilal tidak mau mengumandangkan azan. Akhirnya, setelah didesak banyak orang -termasuk Sayyidah Fathimah as.- Bilal mulai berazan. Ketika sampai kata “wa asyhadu anna Muhammad ia terhenti. Suaranya tersekat di tenggorokan ia menangis keras. Nama “Muhammad”, kekasih yang baru saja kembali ke Rabbul Izzati, menggetarkan jantung BilaI, Bilal bukan tidak mau menyebut nama Rasulullah Saw. Muhammad Saw. adalah nama insan yang paling indah baginya. Justru karena cintanya kepada Rasulullah Saw , nama beliau sering diingat, disebut, dan dilagukan. Bilal berhenti azan, hanya karena nama itu mengingatkan dia kepada kehilangan besar yang bukan saja memukul Bilai, tapi seluruh kaum Muslim. Dalam puisi Fathimah, putri Nabi, kecintaan itu terdengar sangat mengharukan:
- Duhai, yang telah mencium tanah pusara Ahmad
- Takkan mencium semerbak itu sepanjang masa
- Telah menimpaku musibah besar
- Sekiranya menimpa siang
- Siang berubah menjadi malam gulita
Dalam ajaran Islam, keinginan umat Islam untuk melazimkan sebutan nama Nabi Saw. dipenuhi dengan membaca shalawat dan salam kepadanya. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad (Ya Allah sampaikanlah kesejahteraan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad). Sepanjang sejarah, kaum Muslim memasukkan kerinduan mereka kepada junjungan mereka dengan menggubah berbagai macam shalawat. Pada gubahan itu, bukan saja mereka bermohon agar kesejahteraan dilimpahkan kepada Rasulullah Saw., mereka juga menggambarkannya dengan sifat-sifat mulia. Perhatikan, misalnya, puisi Sa’di di bawah ini:
- Kemuliaannya telah mencapai kesempurnaan
- Keindahannya telah menepiskan kegelapan
- Indah nian semua perilakunya
- Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.
Dan, inilah gubahan shalawat, yang sering dlbacakan kaum Muslim Indonesia pada berbagai peristiwa peristiwa, dalam kehidupan mereka; dan diwiridkan biasanya pada malam Jumat:
يا نبى سلام عليك يا رسول سلام عليك
يا حبيب سلام عليك صلوات الله عليك
- Wahai Nabi, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu
- Wahai Rasul, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu
- Wahai kekasih, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu
- Rahmat Allah semoga tetap tercurah kepadamu.
Kenikmatan dalam membaca shalawat adalah ungkapan kecintaan kepada Rasulullah Saw. Karena itu, menurut Rasulullah Saw., orang yang paling dekat dengan beliau pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepadanya; artinya, yang paling mencintainya. Berbahagialah orang-orang yang menandai peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan -lahir, menikah, mendapat rezeki, lulus ujian dan sebagainya- dengan shalawat.
Lebih berbahagia lagi, orang-orang yang selalu menggetarkan shalawat di mana pun ia berada. Mereka tahu Nabi Muhammad Saw. adalah kekasih Tuhan, yang tanpa dia tidak akan diciptakan alam semesta ini. Dia diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS 21:107). Karena itu, ketika mereka mengingat Tuhan, mereka tidak pernah melupakan kekasihnya.
Ali bin Abi Thalib a.s.berkata, “Setiap doa antara seorang hamba dengan Allah selalu diantarai dengan hijab (penghalang, tirai), sampai dia mengucapkan shalawat kepada Nabi Saw. Bila ia membaca shalawat, tersobeklah hijab itu dan masuklah doa” (Kanzul-’Ummal 1: 173; Faidh Al-Qadir 5:19).
Ali hanya menegaskan apa yang diucapkan Rasulullah Saw., “Semua doa terhijab, sampai ia membaca shalawat” kepada Muhammad dan keluarganya.” (Ibn Hajar, Al-Shawaiq: 88). Karena itu, orang-orang suci sepanjang zaman mengantarkan doa mereka dengan shalawat.
Al-Tsa’labi, ketika mengisahkan Nabi Yusuf a.s. yang sedang berada di dalam sumur, menuturkan kejadian ini, “Pada hari keempat datanglah Jibril a.s. dan berkata: Hai anak, siapa yang melemparkan kamu ke sini ke dalam sumur? Yusuf menjawab: Saudara-saudaraku seayah. JibriI bertanya: Mengapa? Yusuf menjawab: Mereka dengki ke padaku karena kedudukanku di depan ayahku. Jibril berkata: Maukah engkau ke luar dari sini? la menjawab: Tentu Jibril berkata: Ucapkanlah
يا صا نع كل مصنوع ، و يا جابر كل مكسور،
و يا حاضر كل ملأ ،و يا شاهد كل نجوى ،
و يا قريبا غير بعيد ، و يا مؤنس كل وحيد ،
ويا غالبا غير مغلوب ، ويا علام الغيوب ،
ويا حيا لا يموت ، و يا محى الموتى ،
لا إله إلا انت سبحانك ،
اسألك يا من له الحمد ،
يا بديع السماوات و الأرض ،
يا ملك الملك ،
و يا ذا الجلال و اللإكرام ،
أسألك أن تصلى على محمد و على ال محمد ،
و أن تجعل لى من أمرى و من ضيقى فرجا و مخرجا ،
و ترزقنى من حيث أحتسب و من حيث لا أحتسب
- Wahai Pencipta segala yang tercipta
- Wahai Penyembuh segala yang terluka
- Wahai Yang Menyertai segala kumpulan
- Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan
- Wahai Yang Dekat dan Tidak berjauhan
- Wahai Yang Menemani semua yang sendirian
- Wahai Penakluk yang Tak Tertaklukkan
- Wahai Yang Mengetahui segala yang gaib
- Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati
- Wahai Yang Menghidupkan yang mati
- Tiada Tuhan kecuali Engkau, Mahasuci Engkau
- Aku bermohon kepada-Mu Yang Empunya pujian
- Wahai Pencipta langit dan bumi
- Wahai Pemilik Kerajaan
- Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan
- Aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
- Berilah jalan keluar dan penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan
- Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tak aku duga
Lalu Yusuf a.s. mengucapkan doa itu. Allah mengeluarkan Yusuf a.s. dari dalam sumur, menyelamatkannya dari reka-perdaya saudara-saudaranya. Kerajaan Mesir didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduganya” (Al-Tsa’labi 157; Fadhail Al-Khamsah 1: 207).
Jauh sebelum Yusuf a.s., Adam a.s., bapak dari seluruh umat manusia, juga mengantarkan tobatnya dengan menyebut Muhammad Saw. Ketika menjelaskan Al-Baqarah 37, Jalaluddin Al-Suyuthi meriwayatkan hadis ini:
Rasulullah Saw. bersabda: Ketika Adam berbuat dosa yang dilakukannya itu, ia mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Aku bermohon demi hak Muhammad, ampunilah dosaku.” Maka kemudian Allah mewahyukan kepadanya: Siapa Muhammad itu. Adam menjawab Mahamulia asma-Mu. Dan di situ tertulis: La ilaha Illallah Muhammad Rasulullah. Maka tahulah aku bahwa tidak seorang pun lebih besar kedudukannya di hadapan-Mu selain orang yang namanya bersama nama-Mu. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya: Hai Adam, sesungguhnya la adalah Nabi yang terakhIr dari keturunanmu, Kalau tidak ada dia Aku tidak menciptakan kamu.
Para Nabi dan orang-orang saleh menyertakan shalawat dalam doa-doa mereka. Perbuatan itu lahir karena kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Pada gilirannya, cinta kepada Nabi Muhammad Saw. memancar dengan sendirinya dari kecintaan kepada Rabbul ‘Alamin. Bukankah beliau adalah makhluk yang paling dekat dan paling kinasih di hadirat-Nya. Kepada umatnya yang sangat dicintainya, Rasulullah Saw. berpesan agar melanjutkan tradisi anbiya dan shalihin. Bukan karena ia mementingkan diri sendiri. Tanpa doa dari siapa pun, kedudukannya di sisi Allah tidak tertandingi oleh makhluk mana pun. Pesannya untuk bershalawat kepadanya lahir karena kecintaannya kepada kita.
Duhai, betapa mulianya engkau ya Rasulullah. Engkau meminta kami berdoa untukmu, padahal apa artinya doa kami, shalawat kami, di hadapan kebesaranmu. Engkau pesankan kepada kami untuk bershalawat bagimu demi kebahagiaan kami juga. Bukankah kami hanya bisa dekat kepada Tuhan melalui kecintaan kepadamu? Bukankah kami hanya bisa naik ke tempat yang tinggi hanya dengan bergantung pada kerinduan atasmu?
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat dan tidak membaca shalawat kepadaku dan keluargaku, tidak akan diterima shalatnya” (Sunan Al-Daruqutni 136). Karena mendengar sabda ini, para sahabat seperti Jabir Al-Anshari berkata, “Sekiranya aku shalat dan di dalamnya aku tidak membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, aku yakin shalatku tidak akan diterima” (Dzakhair Al-Uqba 19). Karena itu juga, Imam Syafi’i menggubah syair berikut:
يا اهل بيت رسوالله حبكم #
فرض من الله فى القرآن انزله
كفاكم من عظيم القدرانكم #
من لم يصل عليكم لا صلاة له
- Wahai Ahli Bait Rasulullah, kecintaan padamu
- Diwajibkan Allah dalam Al-Quran yang diturunkan
- Cukuplah petunjuk kebesaranmu
- Siapa yang tidak bershalawat kepadamu
- Tidak diterima shalatnya
Bukti Cinta kepada Nabi Saw.: Ketiga, Cinta kepada Ahli Bait-nya
Rasulullah Saw. bersabda, “Cintailah Allah atas limpahan nikmatnya kepadamu. Cintai aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintai Ahli Bait-ku karena kecintaanmu kepadaku ” (Bihar Al-Anwar 70: 14). Inilah logika kecintaan yang agung. Dari kecintaan kepada Allah, kita mencintai Rasulullah. Dari kecintaan kepada Rasulullah, kita mencintai keluarganya.
Dari kecintaan kepada keluarganya, kita akan mencintai apa yang mereka cintai. Bila urutan logis ini terpotong, kecintaan yang agung ini menjadi bercacat. Rusaklah kecintaan kepada Allah tanpa mencintai Rasulullah saw. Habislah kecintaan kepada Nabi Saw. tanpa kecintaan kepada Ahli Bait-nya.
Pernahkah Anda dengar kisah seorang sahabat yang menjerit keras ketika melihat Yazid mengetuk-ngetuk bibir Al-Husayn dengan tongkatnya. Ia menjerit karena ia ingat bahwa bibir itulah yang sering dikecup Rasulullah Saw. Sebagaimana ia mencintai Rasulullah Saw., ia juga mencintai bibir yang sering dikecup beliau.
Atau adakah Anda dengar kisah Syamr Al-Jausyan yang tidak berhasil memo-tong leher Al-Husayn dari depan. Pedang, benda mati itu, tidak sanggup melukai bagian depan leher yang sering dicium Nabi Saw.
Seorang ulama besar melihat Imam Ja’far cucu Rasulullah Saw. berjalan dengan bertelekan pada tongkat kakeknya. Ia segera memburu tongkat itu dan menciumi sepuas-puasnya. Imam ja’far berkata, “Engkau ciumi tongkat Nabi, tapi engkau abaikan darah dagingnya.” Memang aneh sekali orang yang memuliakan dan mencintai peninggalan Nabi saw berupa benda-benda, tapi tidak mencintai keluarganya, pusaka Nabi yang berupa hujjah kebenaran.
Rasulullah Saw. sangat mencintai keluarganya. Tentang putrinya Fathimah ia bersabda, “Fathimah belahan nyawaku. Siapa yang menyakiti Fathimah dia menyakitiku. Siapa yang membuat Fathimah marah ia juga membuat aku marah.” Tentang Ali, ia berkata, “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasih (pemimpin), hendaknya menjadikan Ali sebagai kekasihnya juga.” Tentang Al-Hasan dan Al-Husayn, ia bersabda, “Ya Allah, aku mencintai keduanya. Cintailah orang yang mencintai keduanya.” Tentang seluruh keluarganya, ia berpesan, “Aku tinggalkan bagimu dua pusaka yang tidak akan sesat kamu selama kamu berpegang kepadanya: Al-Qur’an dan keluargaku (ahli bait)-ku ” (Al-Hakim; juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim dengan redaksi yang lebih panjang)
Apa yang terjadi kalau Anda mencintai Nabi Saw. tapi tidak menyukai ahli bait-nya?
Pertama, Anda akan berhadapan dengan kemurkaan Allah. Dia berfirman, Katakan (olehmu Muhammad): “Aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan kepada keluargaku” (QS 42: 23). Nabi Saw mengajarkan Islam dengan susah-payah, dengan keringat air mata dan darah. Ia tidak meminta upah apa-apa. la hanya mengharapkan ridha Allah. Tapi, Rabbul ‘Alamin, dengan bahasa yang sangat indah dan halus, menyuruh beliau meminta “upah” kepada umatnycva berupa kecintaan kepada keluarganya. Bayangkan, betapa murkanya Tuhan kalau “upah” yang seperti itu pun tidak Anda berikan. Anda, adalah orang yang paling tidak tahu berterima-kasih.
Kedua, Anda mengalami kegelisahan. Leon Festinger, psikolog social yang makruf, menyebut kegelisahan ini “cognitive dissonance”. Anda mencintai istri Anda. Istri Anda menyukai musik klasik. Anda tidak menyukai musik klasik. Anda mengalami keresahan kognitif. Keresahan ini hilang bila istri Anda menghentikan kesukaannya kepada musik klasik atau Anda mulai menyukainya. Kaum Muslimin yang meninggalkan kecintaan kepada Ahli Bait akan mengalami kegelisahan spiritual, “spiritual dissonance”. Dalam perjalanan panjang menggapai cinta Dia, ia akan terombang-ambing dalam gelombang samudera yang tak terhingga. “Ahli Baitku seperti perahu Nabi Nuh. Siapa yang naik di atasnya selamat. Siapa yang meninggalkannya akan tenggelam” (HR Ath-Thabrani).
Khatimah
Seorang laki-laki, dari dusun Arab yang jauh, datang menemui Nabi Saw. Ia bertanya, “Kapan kiamat itu?” Waktu shalat datang. Setelah selesai shalat, Nabi Saw. bertanya Mana yang bertanya tentang kapan hari kiamat itu? Laki-laki itu berkata: Saya, ya Rasulallah. Nabi bertanya apa yang telah engkau persiapkan untuk itu? Demi Allah, saya tidak mempersiapkan amal yang banyak baik berupa shalat atau puasa. Hanya saja saya mencintai Allah dan Rasulnya. Nabi Saw. bersabda: Engkau akan bersama orang yang engkau cintai. Kata Anas bin Malik, “Aku belum pernah melihat kaum Muslim berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu seperti bahagianya mereka ketika mendengarkan sabda Nabi itu” (Bihar Al-Anwar 17: 13).
Kita pun bahagia seperti orang Arab dusun dan para sahabat Nabi Saw. Kita sungguh tidak mempersiapkan bekal buat hari kiamat nanti. Kecuali kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kita ingin Allah menghimpunkan kita bersama orang-orang yang kita cintai. Tapi, adakah bukti yang bisa kita tunjukkan bahwa kita mencintai Rasulullah Saw. Allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad.
____________
Artikel diatas di tulis oleh: KH. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya: “Renungan-renungan Sufistik” hal, 297-307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar